TEORI PENDIDIKAN BEHAVIORISME

TEORI PENDIDIKAN BEHAVIORISME

 

  1. Pendahuluan

Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.

  1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.  Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon.  Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahantingkah laku.  Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian.  Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar.  Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.

http://www.asikbelajar.com/2012/10/pengertian-belajar-menurut-teori.html

Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003 dalam https://dnoeng.wordpress.com/2010/06/15/teori-pendidikan-behaviorisme/

Telah dikemukaan beberapa pendapat mengenai teori belajar menurut bahaviorisme dan dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi pada individu disebabkan karena adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dalam teori ini sangat mementingkan input yaitu stimulus bisa berupa gambar, alat peraga atau motivasi yang diberikan guru dan output berupa peruban tingkah laku karena adanya stimulus. Dalam teori ini individu cendrung pasif karena hanya dibatasai berdasarkan stimulus yang diberikan sehingga dibutuhkan peran guru yang aktif untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif.

  1. Ciri-ciri belajar behaviorisme

Dari pengertian yang telah dikemukakan dapat dilihat ciri-ciri dari teori belajar behaviorisme yaitu:

  1. Mementingkan pembentukan stimulus dan respon
  2. Menekankan pentingnya latihan sehingga terbentuk habit
  3. Bersifat mekanistis
  4. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar
  5. Mengutamakan pengukuran

Teori belajar behaviorisme sangat mementingkan rangsangan yang berperan untuk merangsang reaksi yang diperkuat dengan hadiah atau hukuman. Selain itu teori ini juga akan menekankan individu untuk terus berlatih sehingga terbentuk kebiasaan yang akan berpengaruh terhadap tingkah laku dan dalam proses pembelajaran komunikasi yang terjadi hanya satu arah (mekanistis) yaitu dari guru yang memberikan stimulus sehingga siswa terkesan pasif. Di samping itu guru tidak melihat proses tetapi langung pada hasil belajar dan adanya pengukuran untuk melihat apakah terjadi perubahan tingkah laku atau tidak pada individu.

  1. Tokoh-tokoh aliran behaviorisme

https://www.academia.edu/8234921/TEORI_BELAJAR_BEHAVIORISME

  1. Ivan Petrovich Pavlov

Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan  behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang  benar jika ia berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedangkan lonceng rangsangan netral, disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur . Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan  berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah  pengkondisian atau pembiasaan, dapat di ketahui bahwa makanan yang menjadi stimulus alami dapat di gantikan oleh lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus). Ketika lonceng di bunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon-nya. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan  pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan  pengkondisian. Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari  penjual es creem Walls yang berkeliking dari rumah kerumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh kesimpulan berkenan dengan beberapa cara perubahan tingkah laku yang dapat digunakan dalam  proses pembelajaran. Misalnya murid dimarahi karena ujian biologinya buruk. Saat murid untuk ujian kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua  pelajaran tersebut saling berkaitan.

  1. John Watson

Watson memusatkan dirinya untuk memeplajari hubungan rangsang dan tingkah laku balasannya. Ia mendapatkan bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasa (respon) terhadap rangsang (stimulus), karena itu rangsang sangat mempengaruhi tingkah laku bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap tingkah laku ditentukan atau diatur oleh rangsang. Teori yang mementingkan hubungan rangsang dan tingkah laku balasan ini disebut teori rangsang balas (stimulu-respon teori) yang dikenal sebagau Behavoirisme (Sarwono: 2014)

Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja yang dapat dipelajari dengan valid dan reliable. Dengan demikian stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya. Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya  bahwa hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang objektif. Watson menolak  pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai subjek psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada aktivitas manusia dan hewan. 3 prinsip dalam aliran behaviorisme:

  • Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul sebagai respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
  • Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua itu.
  • Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.

Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui  pengkondisian berbagai refleks. Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika  balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus. Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat „belajar‟ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan. Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu,  pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),  penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang dihadapinya.

  1. Edward Lee Thorndike

Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyangkal pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga memiliki kecerdasan. Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika  belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori ini disebut dengan teori koneksionisme atau juga disebut “S -R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”.

Subjek riset Thorndike termasuk kucing. Untuk melihat bagaimana hewan  belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia sebut  puzzle box (kotak teka-teki). Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak  berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga),  pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak. Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka.

Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan  pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut, pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan makanan Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara  berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu  beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah. Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan  bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).

Menurut Thorndike, ada beberapa hukum pokok dalam proses belajar manusia, antara lain:

  • Law of Readiness, yaitu kesiapan untuk bertindak itu timbul karena  penyesuaian diri dengan sekitarnya yang akan memberikan kepuasan, hubungan antara stimulus dan respon akan mudah terbentuk apabila ada kesiapan pada diri seseorang.
  • Law of Exercise, hubungan antara stimulus dan respon itu akan sangat kuat  bila sering dilakukan pelatihan dan pengulangan, dan akan menjadi lemah  jika latihan tidak diteruskan.
  • Law of Effect, yaitu perbuatan yang diikuti dengan dampak atau pengaruh yang memuaskan cenderung ingin diulangi lagi dan yang tidak mendatangkan kepuasan akan dilupakan.
  1. F Skinner

Skinner meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif  besar. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Azas operant conditioningB.F Skinner mulai muncul dalam tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori-teori S-R (Stimulus-Respons) yang kemudian dikenal dengan model konditioning klasik dari Pavlov yang pada saat itu telah memberi  pengaruh yang kuat dalam pelaksanaan penelitian. Munculnya teori Operant Conditioning ini sebagai bentuk reaksi ketidak puasan Skinner atas teori S-R, umpamanya pada pernyataan “Stimulus terus menerus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur” (Gredler, 1991 : 115). Dengan kata lain suatu stimulus bervariasi serta akan terjadi pengulangan bila terdapat penguatan (reinforcement). Pengulangan respons-respons tersebut merupakan tahapan-tahapan dalam proses mengubah atau pembentukan tingkah laku. Sedangkan secara menyeluruh, istilah Operant conditioning diartikan sebagai suatu situasi belajar dimana suatu respons lebih kuat akibat reinforcement langsung (Wasty, 1998 : 126). Kemudian margaret E. Bell Gredler dalam kesimpulannya mengartikan operant conditioning sebagai proses mengubah tingkah laku subjek dengan jalan memberikan penguatan (reinforcement) atas respons-respons yang dikehendaki dengan kehadiran stimulus yang cocok (Gredler, 1991 :125).

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa penciptaan suatu kondisi dalam rangka pengubahan tingkah laku subjek, yang relatif sesuai dengan yang dikehendaki (misalnya, oleh guru atau pemimpin pendidikan) yaitu dengan mencermati dan mengontrol respons yang muncul, kemudian setiap respons tersebut diberikan penguatan (reinforcement).

Seperti halnya Throndike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku (Wasty, 1998 : 119). Dengan demikian tingkah laku yang diinginkan terjadi, dapat digambarkan dan dibentuk secara nyata melalui pemberian reinforcement yang sesuai.Menurut Skinner tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak ada faktor perantara lainnya. Rumus Skinner : B (behaviour) = F (fungsi) dari S (stimulus) (B = F (S). Tingkah laku atau respons (R) tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu (S). Respons yang dimaksud di sini adalah respons yang berkondisi yang dikenal dengan respons operant (tingkah laku operant). Sedangkan stimulusnya adalah stimulus operant (Sudjana, 1991 : 85). Oleh karena itu belajar menurut Skinner diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang dapat diamati dalam kondisi yang terkontrol secara  baik.Terdapat dua macam penguat yang dapat diberikan dalam rangka memotivasi atau memodifikasi tingkah laku. Pertama, reinforcement positif yakni sesuatu atau setiap penguat yang memperkuat hubungan stimulus respons atau sesuatu yang dapat memperbesar kemungkinan timbulnya suatu respons atau dengan kata lain sesuatu yang dapat memperkuat tingkah laku. Kedua, Reinforcement negatif (punishment) yakni sesuatu yang dapat memperlemah timbulnya respons-respons (Rohani, 1995 : 13). Artinya setiap penguat yang dapat memperkuat tingkah laku respons tetapi  bersifat aversif (menimbulkan kebencian dan penghindaran), misalnya : ujian tiba-tiba. Stimulus negatif dapat menimbulkan respons emosional bahkan dapat melenyapkan (extinction) tingkah laku atau respons (Gredler : 1991 : 130). Macam dari sifat reinforcement ini, merupakan pilihan atau opsi bagi para guru sebagai pemilik reinforcement (Baker, 1983 : 121), untuk menerapkannya di lapangan baik dalam konteks kelas maupun terhadap individu dalam kelas. Disinilah kemampuan profesionalisme dan pengalaman seorang guru sangat menentukan, karena bukan suatu hal yang mustahil reinforcement negatif justru melahirkan respons (tingkah laku) positif. Tetapi Skinner lebih menekankan kepada pemberian reinforcement positif.

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang disebut dengan Skinner Box. Kotak Skinner ini berisi dua macam komponen pokok, yaitu manipulandum dan alat  pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit. Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Tingkah laku tikus yang demikian disebut dengan „‟ emmited behavior ” (tingkah laku yang terpancar ), yakni tingkah laku yang terpancar dari organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Kemudian salah satu tingkah laku tikus (seperti cakaran kaki, sentuhan moncong) dapat menekan  pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.

Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforce bagi tikus yang disebut dengan tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi reinforcement, yaitu penguatan berupa butiran-butiran makanan kedalam wadah makanan. Teori belajar operant conditioning ini juga tunduk pada dua hukum operant yang berbeda lainnya, yaitu law operant conditioning dan law extinction. Menurut hukum operant conditioning, jika suatu tingkah diriingi oleh sebuah  penguat (reinforcement), maka tingkah laku tersebut meningkat. Sedangkan menurut hukum law extinction, jika suatu tingkah laku yang diperkuat dengan stimulus penguat dalam kondisioning, tidak diiringi stimulus penguat, maka tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah. Kedua hukum ini  pada dasarnya juga memiliki kesamaan dengan hukum pembiasaan klasik (classical conditioning).

Skinner membedakan perilaku atas :

  • Perilaku alami (innate behavior), yang kemudian disebut juga sebagai clasical ataupun respondent behavior, yaitu perilaku yangdiharapkan timbul oleh stimulus yang jelas ataupun spesifik, perilaku yangbersifat refleksif.
  • Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri setelah mendapatkan penguatan. Skinner yakin jika kebanyakan perilaku manusia dipelajari lewat Operant Conditioning atau pengkondisian operan, yang kuncinya adalah penguatan segera terhadap respons. Operant Conditioning adalah suatu proses penguatan  perilaku yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Banyak tokoh-tokoh yang mengemukakan hasil ekperimennya dan dari pendapat beberapa tokoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hewan memiliki kesamaan dalam proses belajar dengan manusia dan dalam kehidupan manusia hal yang paling sentaral selain pemikiran adalah tingkah laku. Tingkah laku bisa dipengaruhi oleh lingkungan bisa berupa pengalaman yang menyenangkan ataupu yang mengerikan. Beberapa tokoh juga sepakat bahwa perubahan tingkah laku merupakan reaksi terhadap stimulus yang diperkuat dengan adanya reward atau reinforcement baik itu positif ataupun negatif.

 

  1. Aplikasi teori bahaviorisme dalam kegiatan pembelajaran

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 1989).

Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas,  kelenturan, daya tahan, contohnya percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.

https://dnoeng.wordpress.com/2010/06/15/teori-pendidikan-behaviorisme/

Dilihat dari beberapa kutipan di atas dapat dirtarik kesimpulan bahwa teori belajar behaviorisme tidak sesuai untuk semua mata pelajaran kaecuali untuk mata pelajaran yang membutuhkan prakter atau pembiasaan misalnya seni, bela diri, komputer, olah raga dan lain sebagainya yang membutuhkan model dan pengulangan terus menerus sesuai yang dicontohkan. Teori behaviorisme ini juga membuat siswa atau individu tidak kreatif karena lebih menunutut keaktifan guru untuk menciptakan lingkungan belajara yang efektif dan lebih mngutamakan hasil tanpa melihat bagaimana proses yang dilalui oleh individu.

  1. Kelebihan dan kelemahan teori behaviorisme

Aliran behaviorisme mendapatkan beberapa tanggapan yang bersifat kurang efisien dalam pembelajaran karena tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks. Disamping itu aliran ini juga dianggap efisien dan mempunyai banyak kelebihan dalam  pembelajaran. Berikut penjelasan mengenai kekurangan dan kelebihan pada aliran  behaviorisme dalam pembelajaran.

  1. Kelebihan
  2. Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan. Dengan bimbingan yang diberikan secara terus menerus akan membuat  peserta didik paham sehingga mereka bisa menerapkannya dengan baik.
  3. Materi yang diberikan sangat detail. Hal ini adalah proses memasukkan stimulus yang yang dianggap tepat. Dengan banyaknya pengetahuan yang diberikan, diharapkan peserta didik memahami dan mampu mengikuti setiap pembelajarannya.
  4. Membangun konsentrasi pikiran Dalam teori ini adanya penguatan dan hukuman dirasa perlu. Penguatan ini akan membantu mengaktifkan siswa untuk memperkuat munculnya respon. Hukuman yang diberikan adalah yang sifatnya membangun sehingga  peserta didik mampu berkonsentrai dengan baik.
  1. Kelemahan
  2. Pembelajaran peserta didik hanya perpusat pada guru. Peserta didik hanya mendapatkan pembelajaran berdasarkan apa yang diberikan guru. Mereka tidak diajarkan untuk berkreasi sesuai dengan  perkembangannya. Peserta didik cenderung pasif dan bosan.
  3. Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru. Pembelajaran seperti bisa dikatakan pembelajaran model kuno karena menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman biasanya sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan.
  4. Peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Karena menurut teori ini belajar merupakan proses pembentukan yang membawa peserta didik untuk mencapai target tertentu. Apabila teori ini diterapkan terus menerus tanpa ada cara belajar lain, maka bisa dipastikan mereka akan tertekan, tidak menyukai guru dan bahkan malas belajar.

https://www.academia.edu/8234921/TEORI_BELAJAR_BEHAVIORISME

Adanya kelebihan dan kekurangan dari teori belajar behaviorisme membuktikan bahwa tidak ada teriro belajar yang sempurna yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan yang ada pada individu. Teori-teori yang ada bisa digunakan untuk saling melengkapi untuk mendapatkan hasil yang inginkan guna memberikan yang terbaik dalam proses pembelajaran.

KESIMPULAN

            Teori belajar behaviorisme berorientasi pada hasil belajar yang dapat diamati dan diukur. Hal yang diharapkan dari teori ini adalah terjadinya perubahan tingkah laku yang bereaksi terhadap stumulus yang diberikan kemudian terjadi pengulangan terus menerus dan untuk memperkuat perubahan tingkah laku maka akan diberikan reward atau hukuman.

Dalam aplikasinya teori ini kurang efektif karena menekankan pada peran guru yang aktif sementara siswa hanya pasif. Siswa hanya mendengarkan dan menghafal penjelasan guru sehingga terkesan membosankan. Namun untuk meta pelajaran yang membutuhkan praktek sangat efektif.

Tidak ada teori belajar yang sempurna namun saling melengkapi untuk menuju kesempurnaan. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian-penelitian yang mendalam untuk meningkatkan kualitas peserta didik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, sarlito wirawan. 2014. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Wali Press

Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

http://www.asikbelajar.com/2012/10/pengertian-belajar-menurut-teori.html

https://www.academia.edu/8234921/TEORI_BELAJAR_BEHAVIORISME

https://dnoeng.wordpress.com/2010/06/15/teori-pendidikan-behaviorisme/

 

Tinggalkan komentar